Masyarakat mengenal istilah disabilitas atau
difabel sebagai seseorang yang menyandang cacat. Inilah yang secara
kasat membuat kita mengartikan penyandang disabilitas sebagai individu
yang kehilangan anggota atau struktur tubuh seperti kaki/tangan, lumpuh,
buta, tuli, dan sebagainya. Dengan demikian disabilitas diidentikkan
dengan kecacatan yang terlihat. Pembatasan makna disabilitas dengan
kecacatan inilah yang menyebabkan undercoverage, sehingga pendataan
disabilitas yang mengacu pada konsep kecacatan akan menghasilkan data
yang underestimate.
Dalam Convention on the Right of Person with
Disabilities (CRPD) tahun 2007 di New York, Amerika Serikat,
negaranegara di dunia telah menyepakati bahwa penyandang disabilitas
adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi
penuh dan efektif. Penekanan makna disabilitas dalam konsep ini adalah
adanya gangguan fungsi yang berlangsung lama dan menyebabkan terbatasnya
partisipasi di masyarakat.
Identifikasi Penyandang Disabilitas
Dengan menilik pada kesepakatan CRPD di atas sekarang apakah
ketika melihat orang dengan fisik yang lengkap langsung kita kategorikan
sebagai BUKAN penyandang disabilitas? Jawabnya tentu TIDAK, karena
disabilitas tidak dapat dipastikan dengan apa yang dilihat, tetapi
ditentukan dengan apa yang kita amati. Setiap orang bisa mengalami lebih
dari satu jenis gangguan. Oleh karena itu, kita tanyakan satu persatu
apakah memiliki gangguan penglihatan, pendengaran,
mobilitas/menggerakkan kaki atau tangan, mengingat dan berkonsentrasi,
perilaku dan emosi, komunikasi, dan mengurus diri sendiri. Khusus untuk
anak ditambahkan pertanyaan terkait gangguan dalam bermain dan belajar.
Anak mengalami
gangguan jika kejadian yang dialaminya tidak biasa dialami oleh anak
seusianya, seperti anak yang secara kasat mata terlihat seperti anak
seusia lainnya namun ternyata autis atau hiperaktif.
Instrumen Pendataan Disabilitas dalam Survei
Pada tahun 2001 di Washington, Amerika Serikat, negaranegara
di dunia yang diwakili oleh badan/kementerian yang menangani statistik
menyepakati suatu instrumen pendataan disabilitas yang hasilnya dapat
dibandingkan antarnegara atau sering dikenal dengan
instrumen rekomendasi Washington Group (WG). Pertanyaan disusun dengan
pendekatan rumah tangga dan menanyakan setiap jenis gangguan yang
dialami. Jawaban disediakan
dalam bentuk gradasi sesuai dengan tingkat gangguan yang dialami
responden sedikit/banyak/total atau tidak mengalami kesulitan.
Pelaksanaan dan Publikasi Pendataan Khusus Disabilitas
Masih sedikit negara yang menyelenggarakan survei khusus
disabilitas dan mempublikasikannya secara khusus. Indonesia, dalam hal
ini BPS, sebenarnya sejak tahun 1980 telah memberikan perhatian terhadap
data disabilitas dengan mencantumkan pertanyaan disabilitas di dalam
sensus ataupun survei, seperti Sensus Penduduk, Survei Sosial Ekonomi
Nasional Modul Sosial Budaya dan Pendidikan, Potensi Desa, dan Pendataan
Program Perlindungan Sosial. Namun dalam sensus ataupun survei tersebut
penggunaan konsep definisi, bentuk pertanyaan dan jawaban, serta
cakupan jenis pertanyaannya belum sepenuhnya sesuai dengan amanat CRPD
dan rekomendasi WG. Sampai akhirnya pada bulan Juni 2013 hingga Mei
2014, BPS didukung oleh UNFPA-WHO-UNICEF, dengan melibatkan
kementerian/lembaga terkait, pakar peneliti, serta organisasi penyandang
disabilitas telah mengembangkan instrumen disabilitas yang merujuk
rekomendasi WG. Hasil instrumen pun telah diluncurkan pada 7 Mei 2014
dalam acara Launching of Instrument for Disability Survey.
Dengan mengangkat tema “Making Their Hidden Situation, Unhidden”
launching instrumen ini bermakna untuk memberikan persamaan dan
kesamaan sebagai hak asasi dalam proses pembangunan. Instrumen terdiri
dari tiga jenis, yaitu rumah tangga, individu dewasa (18 tahun ke atas),
dan individu anak (2-17 tahun). Pertanyaan instrumen individu meliputi
identifikasi disabilitas. Pertanyaannya pun lebih mendalam: kapan
mengalami disabilitas, penyebab disabilitas, alat bantu yang digunakan,
aksesibilitas terhadap fasilitas umum, pendidikan,
pekerjaan, dan politik.
Mendata mengenai disabilitas tentunya mempunyai keunikan
sendiri, nantinya petugas pun harus dibekali dengan materi peningkatkan
sensitivitas terhadap disabilitas agar dapat lebih berempati. Petugas
harus mengetahui bagaimana mengenali ciri, kebutuhan, maupun
hambatan dalam kehidupan para penyandang disabilitas. Instrumen sudah
disiapkan, pemerintah pun menyadari pentingnya data disabilitas dalam
pembangunan, dan para penyandang disabilitas menanti haknya dipenuhi.
Maka pendataan ini harus direalisasikan melalui survei khusus
disabilitas.